
Tembaga, logam industri kunci, mengalami penurunan nilai yang signifikan selama beberapa bulan terakhir. Artikel ini menjelaskan berbagai faktor yang memberikan tekanan pada harga tembaga.
Suku Bunga dan Dolar yang Kuat
Salah satu faktor utama yang memberikan tekanan pada penurunan tembaga adalah kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Semakin tinggi suku bunga, biaya memegang persediaan bahan mentah semakin mahal, yang berdampak pada harga tembaga. Pada saat bersamaan, kenaikan suku bunga AS yang lebih tinggi memperkuat dolar AS terhadap mata uang cadangan lainnya. Penguatan dolar ini berdampak negatif bagi komoditas seperti tembaga sejak Juli.
Futures obligasi Treasury AS 30 tahun telah mengalami tren penurunan sejak 2020, dan penurunan terbarunya ke level yang belum pernah terjadi sejak 2007 bertepatan dengan penurunan harga tembaga. Penurunan harga tembaga sepanjang 2023 sejalan dengan kenaikan suku bunga.
Kelemahan Ekonomi China
China, konsumen terbesar tembaga terrafinasi di dunia, memainkan peran penting dalam permintaan logam ini. Tembaga sangat penting untuk pengembangan infrastruktur, sehingga menjadi indikator untuk pertumbuhan ekonomi global. Namun, kesulitan ekonomi China pada 2023 telah menurunkan permintaannya akan tembaga. Dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa, ekonomi China secara signifikan mempengaruhi harga tembaga, dan kelemahan konsistennya pada 2023 telah memberikan tekanan pada logam merah ini.
Faktor Bullish dan Bearish
Meskipun tembaga mengalami tekanan yang substansial, masih ada faktor-faktor yang mendukung nilainya:
1. Persediaan yang Menipis: Selama lima tahun terakhir, persediaan tembaga menurun, dan produksi sulit mengimbangi permintaan global. Membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulai produksi baru, terutama di wilayah yang tidak stabil secara politik.
2. Inflasi dan Kenaikan Suku Bunga: Kenaikan inflasi dan suku bunga meningkatkan biaya produksi, sehingga pendanaan untuk produksi baru menjadi mahal. Hal ini memberikan tekanan ke atas pada harga tembaga.
3. Inisiatif Energi Hijau: Pergeseran ke energi hijau, didorong oleh kendaraan listrik dan turbin angin, telah meningkatkan permintaan tembaga, karena teknologi-teknologi ini membutuhkan jumlah logam nonferrous yang besar.
Tren bullish jangka panjang tembaga masih utuh, meskipun penurunan baru-baru ini dari di atas $5 menjadi di bawah $3,60 per pon.
Selain faktor bullish, beberapa unsur bearish juga mempengaruhi harga tembaga secara negatif:
1. Kenaikan Suku Bunga AS yang Lebih Tinggi: Biaya yang semakin mahal untuk memegang persediaan akibat kenaikan suku bunga telah mendorong harga tembaga lebih rendah.
2. Indeks Dolar yang Kuat: Penguatan dolar AS, sebagai mata uang cadangan dunia, memberikan dampak bearish, meskipun London menjadi pusat perdagangan tembaga internasional.
3. Tren Jangka Pendek yang Bearish: Tren jangka pendek pada 2023 bersifat bearish, dengan tembaga mencapai level terendah awal Oktober.
Pandangan Investor
Meskipun tren bearish pada 2023, beberapa investor tetap bullish terhadap tembaga karena fundamental pasokan dan permintaan. Namun, memprediksi dasar pasar dapat menantang, sehingga investor disarankan bersabar dan siap untuk penurunan lebih lanjut.
Investor yang tertarik dengan tembaga dapat mempertimbangkan produk ETF Tembaga AS (CPER), yang secara ketat mengikuti harga tembaga. CPER memiliki aset sebesar $129,2 juta dan diperdagangkan selama jam pasar saham AS. Hal ini menyediakan cara untuk memperoleh eksposur terhadap tembaga tanpa harus secara langsung berdagang kontrak berjangka.
Kesimpulan
Saat ini tembaga menghadapi tekanan turun akibat kenaikan suku bunga dan dolar yang lebih kuat, namun fundamental pasokan dan permintaan mendasar menunjukkan potensi dasar di masa depan yang dekat.