Bakti Alumni untuk Pedagang Kantin

 

BAGI mahasiswa, kantin tidak sekadar tempat mengisi perut. Di situ biasanya mereka kadang menghabiskan waktu untuk bercengkrama di sela-sela jam kuliah atau berdiskusi. Begitu pun bagi para mahasiswa-mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FUI). Saking berkesannya, kantin yang sering disebut Kansas (Kantin Sastra) itu memiliki kenangan tersendiri, terutama bagi alumni. Rasa kekeluargaan antara mahasiswa dan pedagang juga begitu erat.

Atas dasar hal itulah, Geri Irawan, salah seorang alumni FIB tergerak hatinya untuk membantu pedagang di kantin tersebut, setelah pandemi covid-19 membuat kampus di kawasan Depok, Jawa Barat itu, tutup. Selama kurun tujuh bulan sejak Maret hingga September tahun lalu, aktivitas perkuliahan yang beralih ke layar daring, praktis turut berdampak secara langsung ke lingkungan kampus, termasuk para pedagang yang berjualan di sana.

Kabar ini juga didengar Geri dari temannya. Dari perbincangan itu, mereka lalu tergerak membantu. Geri lalu berkunjung ke salah satu pedagang, Karsem, yang sebelum pandemi sehari-harinya biasa berjualan gado-gado (Gado-gado Kopral) di Kansas bersama suaminya.

Dari pengakuan Karsem, ia memang sempat menerima donasi dari para alumni FIB, bersama ke-24 pedagang di Kantin Sastra. “Tapi, dia tidak mau terus-terusan bersandar bantuan,” begitu Geri berkisah saat awal perjumpaannya kembali dengan Karsem.

Sebab itulah, alumnus Sastra Jawa ini dan seorang temannya dari jurusan sejarah berpikir untuk membantu Karsem berjualan via daring lewat dua aplikasi yang sudah jamak digunakan di Indonesia, Gofood dan Grabfood. Ide itu sebenarnya juga telah dilakukan Geri yang juga punya usaha kuliner di sekitaran Depok. Saat itu, dia menyebut usaha kulinernya itu setidaknya masih bisa bertahan karena juga tersedia di layanan daring. Untuk itu, ia menawari Karsem cara serupa.

“Waktu itu dia (Karsem) sampai bilang, enggak tahu duitnya apakah bakal cukup sampai akhir tahun. Dia bahkan sampai jual emasnya, tabungannya juga terkuras,” Geri berkisah.

Menurut Geri dengan beralih ke layanan daring, si pedagang tidak perlu repot keluar modal banyak dengan sewa tempat. Cukup berjualan dari rumah, mengandalkan peralatan yang sebelumnya sudah ada, dan modal untuk produk makanannya. Dia pun membuat gerakan Kansas Buka Lagi dan mengabarkannya ke para alumni di media sosial maupun grup-grup percakapan.

Dari total 25 pedagang di Kansas, ada sembilan yang bergabung dan pindah ke lapak daring. Namun, hingga April ini, dua dari sembilan pedagang ini tidak dapat melanjutkan usaha mereka sehingga kini total sisa tujuh yang masih bertahan di dua aplikasi pengantaran makanan. Diakui Geri, memang saat bulan-bulan awal, para pedagang cukup kebanjiran pesanan. Mengingat modal nostalgia dan romantisme para alumni, mereka pun banyak yang pesan. Omzet pun meroket drastis hingga di atas Rp1 juta. Namun sejauh ini, pesanan yang masuk tidak semasif pada awal. Geri memang udah mewanti-wanti itu ke para pedagang yang dibantunya. “Nanti bakal ketemu pelanggan organik, pelanggan sejati. Yang penting setidaknya bisa kenceng di awal itu bisa berpengaruh ke rating, naik. Nanti ada pelanggan di luar FIB,” pesan Geri ke para pedagang.

Sumbangan terbesar Geri bersama keenam temannya dari lintas jurusan mungkin ialah memberikan peluang bagi beberapa pedagang itu untuk mencoba pintu di luar lapak konvensional mereka selama ini. Pandemi mengharuskan mereka migrasi ke digital. Selain itu, Geri dkk juga bertindak layaknya konsultan usaha makanan dan menjadi agensi bagi para pedagang kantin lainnya.

Ada yang bertugas mengurus legal dan administrasi agar bisa terdaftar di aplikasi perpesanan makanan, ada yang mem-branding produk dengan mendesain logo, foto produk, membuat narasi, dan mengelola sosial media. Semua tugas itu dilakukan sukarela. Dengan kata lain, upaya yang dilakukan Geri dan kawan-kawannya ialah untuk mencoba mem-branding dagangan kantin ala kampus dan juga bisa bersaing di platform daring.

“Pertama, dari segi penamaan resto, kami sarankan ke mereka untuk menyingkirkan embel-embel FIB UI. Kalau seandainya nanti besar, itu bisa pakai nama resto mereka sendiri. Kedua, foto produk yang kami buat selayaknya resto yang punya banyak cabang. Padahal hanya buka dari rumah,” kata Geri.

Geri juga memberi beberapa wejangan. Misalnya, soal pengemasan. “Jadi selalu ingetin masalah rasa, kualitas, pengemasan juga harus bagus. Jangan pakai styrofoam, tapi pakai paper box yang food grade,” kata Geri, yang semasa kuliah sempat menjabat Dewan Perwakilan Mahasiswa FIB UI periode 2015.

Meski upaya yang diinisiasi dan ditelateni bersama keenam rekannya itu masih berskala mikro dengan omset per harinya Rp300 ribu-Rp400 ribu, Geri yakin para pedagang yang masih beroperasi via daring itu bisa selamat hingga nanti pandemi menemui ujung. “Ke depannya, secara enggak langsung mereka juga akan punya dua cabang. Satu di kampus, satu di rumah.”

 

Balas jasa

Apa yang dilakukan Geri bersama teman-temannya lewat Kansas Buka Lagi, juga tidak lain ialah sebagai balas jasa ke para pedagang. Semasa kuliah, hubungannya dengan pedagang bukan saja antara penjual dan pembeli, melainkan lebih dari itu. Tentu, ini setidaknya juga dirasakan banyak mahasiswa lain.

“Zaman kuliah, misalnya gue sama Bu Karsem kadang dikasih tambahan gorengan. Kadang boleh utang pula. Kalau nongkrong sampai malam juga kadang dikasih makanan. Atau hal sepele seperti misalnya ayam penyet Mas Rony, dengan Rp4 ribu, mahasiswa sudah bisa dapat seporsi nasi pakai tiga gorengan dan sambal. Kurang ngebantu apa coba itu ke mahasiswa?”

Kata Geri para pedagang itu kerap membantu para mahasiswa FIB dengan misalnya ikut membeli kaus merchandise saat mereka buat acara di kampus. Ikatan batin pada kantin yang menyimpan berbagai emosi dan saksi perjalanan selama kuliah, juga menjadi salah satu alasan beberapa teman Geri yang ikut membantu Kansas Buka Lagi.

Kini, Geri dan teman-temannya juga tengah menggodok cara lain sebagai aktivasi ke para pedagang. Setelah melakukan serentetan kegiatan program seperti konser amal daring, memproduksi kompilasi lagu yang dirilis ke platform streaming, membuat merchandise, mendorong pedagang untuk berjualan via daring, selanjutnya ialah menggarap makanan beku. “Karena bentar lagi kan puasa, jadi kepikiran bikin kemasan frozen food buat mereka yang sahur. Ini lagi digodok sama tim. Intinya, kalau ada celah yang bisa dimanfaatkan dan ada duitnya, kami akan jalani. Karena masih belum tahu kampus kapan buka lagi, kasihan mereka,” terang Geri.

“Kami memang sama-sama babak belur saat pandemi. Tapi, setidaknya ada yang bisa dilakukan, walau skalanya masih kecil banget,” imbuhnya. (M-4)

 

 

Biodata

Nama: Geri Irawan

Tempat, tanggal lahir: Bekasi, 7 Januari 1994

Pendidikan: S-1 Sastra Jawa

Profesi: Wirausaha

Inisiator Program Kansas Buka Lagi