MENJELANG umat kristiani perayaan Paskah, masyarakat dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri yang terjadi di Makassar. Ledakan bom bunuh diri terjadi di depan Gereja Katedral Makassar tanggal 28 Maret 2021 pukul 10.28 Wita. Saat ledakan terjadi, di gereja masih ada sejumlah jemaat gereja yang tengah menjalankan ibadah.
Pelaku bom bunuh diri diduga dua orang dengan menggunakan sepeda motor. Jumlah korban jiwa dari pihak jemaat gereja beruntung bisa direduksi, karena pelaku bom bunuh diri sempat dicegah tenaga sekuriti saat akan masuk ke pelataran gereja. Pelaku yang ketahuan, akhirnya meledakkan diri di lokasi, sebelum sempat merangsek masuk ke gedung gereja.
Menyimplifikasi
Apakah aksi teror bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral ini ada-tidak kaitannya dengan tindak penangkapan 19 terduga teroris di Makassar, saat ini masih menjadi penyidikan aparat kepolisian. Pihak berwajib dikabarkan kini masih menyelidiki jaringan siapa yang terlibat, dan siapa identitas dua pelaku bom bunuh diri yang beraksi.
Terlepas, siapa dalang di balik aksi terror bom di Makassar, dan apakah teror bom bunuh diri yang terjadi di Makassar dilakukan lone wolf, atau bagian dari jaringan teroris yang lebih terorganisasi, kasus ini memperlihatkan bahwa aksi terorisme di Indonesia belum benar-benar bisa diredam. Dalam beberapa saat, memang aksi teror tidak muncul. Tetapi, pada saat kita lengah, tiba-tiba aksi teror bom muncul tanpa bisa diduga.
Terorisme dan radikalisme, ibaratnya merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Secara teoretis, radikalisme sesungguhnya merupakan doktrin politik yang mengilhami gerakan republikan dan nasional, yang berkomitmen terhadap kebebasan dan emansipasi individual dan kolektif, yang diarahkan melawan status quo monarkis dan dominasi aristokrat (Rink & Sharma, 2016).
Pada awalnya, radikalisme kebanyakan berupa sikap antiulama, antimonarki, dan prodemokrasi. Namun demikian, dalam perkembangannya, di Indonesia istilah radikalisme telah jauh bergeser dan sering kali diasosiasikan dengan munculnya gerakan dan sikap militan kelompok tertentu yang cenderung ke arah ekstremisme dan kekerasan massal yang destruktif.
Radikalisme, bukan hanya melahirkan gerakan dan aksi teorisme. Tetapi, juga tak jarang menjelma dalam aksi-aksi yang lebih soft, seperti sikap intoleransi, yang biasanya dengan cepat bisa berubah menjadi aksi terorisme.
Kesulitan memberantas aksi teror di Indonesia, sedikit-banyak ada kaitannya dengan adanya kantong-kantong gerakan radikalisme, dan sikap intoleransi yang tersebar di berbagai daerah. Berbeda dengan pemikiran simplistik, yang meyakini terorisme dilakukan orang-orang fanatik dan berideologi jahat (evil ideology)–sehingga tidak butuh analisis lebih jauh–, dalam kenyataan faktor yang memengaruhi aksi terorisme sebetulnya jauh lebih kompleks.
Kekeliruan memahami apa yang menjadi akar di balik terjadinya aksi teror dan radikalisme, secara garis besar memang disebabkan warisan sejumlah asumsi yang problematik. Pertama, kekeliruan yang menuduh bahwa orang-orang yang melakukan atau terlibat dalam terorisme disebut selalu berasal dari kelompok ekstremis, yang menganut paham keagamaan, yang mendukung dan mengispirasi tindak kekerasan.
Kedua, berkaitan dengan pertanyaan pokok yang rawan tergelincir dalam tuduhan yang salah. Selama ini, disadari atau tidak, upaya menangkal radikalisasi selalu lebih banyak dan terbatas pada soal penyebab terorisme dan berfokus pada pertanyaan: Kenapa seorang memilih dan mendukung tafsir ekstremis yang mengantarkan pada pengesahan tindak kekerasan?
Pertanyaan semacam ini dapat menyesatkan. Karena, mengabaikan faktor-faktor yang kompleks di balik terjadinya aksi teror. Sedgwick (2010), misalnya menyatakan, bahwa kesimpulan yang menggambarkan pelaku teror sebagai militan yang melakukan aksi tanpa alasan sesungguhnya terlalu menyimplifikasi masalah.
Kompleks
Untuk meredam dan memberantas hingga tuntas aksi teror harus diakui bukanlah hal yang mudah. Para peneliti kini telah menyadari bahwa keterkaitan antara radikalisme dan terorisme tidak sedemikian straightforward seperti yang diduga sebelumnya. Seperti dikatakan Randy Borum (2011), sebagian orang yang terpapar paham radikal tidak selalu terlibat dalam aksi terorisme. Sebaliknya, sebagian teroris juga tidak bersifat ideologis dan/atau berpaham radikal dalam pengertian tradisional.
Kemungkinan seseorang menjadi 'radikal', dan melakukan aksi teror bom bunuh diri, dengan cara mengembangkan atau mengadopsi keyakinan ekstrem yang menjustifikasi kekerasan hanyalah satu dari sekian jalan menuju keterlibatan dalam terorisme. Banyak bukti memang menunjukkan, orang dengan paham radikal dan ideologi yang menjustifikasi kekerasan, tidak dengan serta-merta memilih jalan kekerasan atau terlibat dalam aksi terorisme.
Menjadi radikal dan menjadi teroris adalah sebuah proses yang menempuh rute yang kompleks. Menjadi teroris, bukanlah proses linear yang bergerak dari agak radikal menjadi sangat radikal, atau dari membenarkan aksi teror menjadi pelaku teror. Tidak sekali-dua kali, dalam proses menjadi radikal seseorang mengalami deradikalisasi, karena memperoleh kesempatan untuk melakukan kritik atas diri dan keyakinannya sendiri.
Memang, menjadi radikal bukanlah proses yang terjadi secara instan atau lahir dalam situasi vakum. Ada konteks tertentu, atau setidaknya habitus sosial yang memengaruhi rute seseorang menjadi radikal. Apakah seseorang bisa self-radicalize karena dipengaruhi sejumlah faktor eksternal? Pertanyaan inilah yang menjadi tantangan dan tugas para peneliti dewasa ini, sebelum merekomendasikan strategi dan program yang tepat untuk meredam radikalisme di Indonesia.
Perlu disadari, menjadi radikal di era perkembangan masyarakat digital seperti sekarang ini, tidak hanya dipengaruhi habitus sosial dalam dunia nyata. Tetapi, bisa juga dipengaruhi interaksi pelaku dengan dunia virtual, yang menawarkan ideologi kekerasan dan paham yang menghegemoni.
Menaklukkan radikalisme dan aksi teror, tidaklah mungkin hanya dilakukan dengan program penangkapan dan perang bersenjata. Dalam jangka panjang, upaya meredam terorisme tampaknya juga memerlukan tumbuhnya simpati hearts and minds dari para pelaku teror, orang-orang garis keras, dan berbagai pihak yang mulai memperlihatkan bibit-bibit intoleransi. Hanya dengan menyentuh hatinya saja, gerakan radikal dan aksi teror akan dapat diredam hingga ke akar-akarnya.