Diplomasi Santri, Melihat Islam dan Kemajuan Tiongkok

AKHIR Februari lalu, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok diundang secara khusus oleh Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok (PKT) atau Central Committee Communist Party of China dalam Forum Xinjiang Brief. Bersama dengan lebih dari 300 pemimpin partai politik dan organisasi internasional dari 80 negara.

PCINU Tiongkok ialah satu-satunya organisasi kemasyarakatan yang diundang dari Indonesia. Untuk partai politik, ada PAN dan PKB.

Forum dialog yang membahas khusus isu Xinjiang itu berlangsung secara daring selama lebih dari 4 jam. PCINU Tiongkok juga diwawancara khusus untuk memberi komentar dan masukan terkait dengan isu Xinjiang. Secara tertulis, PCINU Tiongkok memberikan catatan dan masukan khusus kepada pihak PKT, partai penguasa satu-satunya di Tiongkok.

Salah satu poin saran tersebut ialah pelibatan dan partisipasi tokoh Islam Xinjiang melalui asosiasi muslim setempat dalam kebijakan dan komunikasi ke pihak luar Tiongkok, khususnya ke negara-negara mayoritas muslim, supaya isu terkait dengan Xinjiang ini bisa dilihat secara utuh, tidak seperti yang selalu dimuat media Barat.

Sebelumnya, PCINU Tiongkok juga pernah diundang dalam China-Indonesia Symposium on Islamic Culture di Quanzhou, oleh Pemerintah Fujian dengan Huaqiao University dan konferensi China-Indonesia People-to-People Exchange Development Forum di Wuhan pada 2019 dan 2020 sebagai forum berbagi pandangan akademisi, praktisi, dan pejabat, terkait hubungan Indonesia-Tiongkok.

Saat ini, pelajar Indonesia di Tiongkok sendiri ada 15.780 orang (data Atase Pendidikan KBRI Beijing 2019). Keberadaan PCINU Tiongkok, berdiri secara resmi pada 20 Agustus 2017, tidak hanya menjadi wahana konsolidasi dan silaturahim internal, dengan ada lebih dari 400 diaspora nahdiyin yang didominasi pelajar, dan sebagian kecil pekerja di Tiongkok. PCINU Tiongkok sekaligus mengejawantahkan spirit Islam wasathiyah atau Islam moderat di Tiongkok dan memainkan peran sebagai aktor diplomasi nonnegara.

Selain itu, untuk mengurangi kesalahpahaman masyarakat Indonesia, khususnya terkait dengan informasi Islam di Tiongkok, PCINU Tiongkok menerbitkan pengalaman santri yang ditulis dalam buku bunga rampai Islam Indonesia dan China: Pergulatan Santri Indonesia di China pada 2019 dan membedahnya di PBNU Jakarta, dengan mengundang perwakilan dari pimpinan Asosiasi Muslim Guangzhou secara langsung. Respons terhadap buku itu pun ialah banyak apresiasi masyarakat kedua negara hingga sudah dicetak dua kali.

Aktivitas lainnya pada 2020, PCINU Tiongkok mengadakan lima kali seminar dan diskusi daring dengan mengundang Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan(PMK), Juru Bicara Presiden RI, DPR RI, Duta Besar RI untuk RRT, perwakilan pengusaha, akademisi, ormas, dan lain-lain, sebagai pembicara dalam topik terkait dengan relasi hubungan RI-RRT.

Upaya-upaya itu, untuk menguatkan Islam, menjadi salah satu instrumen pintu masuk jembatan diplomasi kedua negara. Khususnya, di jalur people-to-people connection. Indonesia, yang penganut Islamnya terbesar di dunia, sementara di Tiongkok yang penduduknya sekitar 1,4 miliar, ada lebih dari 30 juta penganut muslim. Dengan lebih dari 42 ribu masjid, yang tersebar di seluruh negeri, berdasarkan data yang dirilis Asosisasi Islam Tiongkok pada 2019.

 

Islam di Tiongkok 

Kebebasan menganut agama dijamin Konstitusi Tiongkok di Pasal 36, yang berbunyi 'Warga negara Tiongkok mempunyai hak kebebasan beragama. Negara, kelompok masyarakat dan individu, tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama, atau tidak menganut agama. Tidak boleh mendiskriminasi warga yang beragama atau tak beragama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal.

Siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama. Kelompok keagamaan, dan urusan keagamaan tidak boleh dikontrol kekuatan dari luar negeri'.

Agama ialah urusan privat, ritual dan aktivitas keagamaan dijalankan di tempat ibadah masing-masing atau di rumah.

Pengalaman sejak 2011 tinggal di Tiongkok, saya berkesempatan berkeliling ke masjid–masjid, sekaligus silaturahim dengan komunitas muslim lokal. Dari kota di wilayah timur hingga ke barat Tiongkok. Mulai masjid-masjid tertua, seperti Masjid Huaisheng Guangzhou (dibangun 627 M), Masjid Agung Xian (742 M), Masjid Niujie Beijing (996 M), Masjid Qingjing Quanzhou (1009 M). Lalu, Masjid Fenghuang Hangzhou (1281 M), Masjid Jingjue Nanjing (1388 M), Masjid Huangcheng Chengdu (1677 M), dan lain sebagainya. Semua masjid itu menjadi bangunan cagar budaya negara dan masih aktif hingga kini.

Corak Islam di Tiongkok banyak kesamaan dengan di Indonesia. Dengan mayoritas bermazhab Hanafi, Islam Tiongkok sangat akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal, atau yang sering disebut Huiru. Relasi Islam dan negara cukup kuat. Salah satu contohnya, di banyak masjid di Tiongkok, banyak ditemukan kaligrafi bertuliskan slogan Hubbul Wathon Minal Iman atau Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman. Itulah mengapa Islam di Tiongkok relatif cukup berkembang.

Perkembangan itu saya rasakan betul. Sekadar contoh kecil, dulu mencari makanan atau warung halal cukup susah dijumpai. Sekarang, semakin lama semakin banyak. Mencari makanan halal cukup mudah, mulai kantin yang dikelola muslim lokal di kampus hingga resto di pinggir jalan umum. Muslimah lokal berjilbab juga relatif cukup umum ditemukan. Bahkan, perkampungan muslim–yang mirip kampung Kauman seperti di Jawa–bisa ditemukan di Kota Xian yang berumur ribuan tahun.

Saya melihat langsung, bagaimana masjid-masjid baru, besar, dan megah banyak dibangun di kota-kota besar seperti di Kota Wuhan, Chongqing, Nanchang, Hangzhou, dan bahkan kota kecil Yiwu, pusat grosir komoditas terbesar dunia, yang sering disebut dengan the Little Arabic City in China. Banyaknya pedagang internasional dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika yang bermukim dan berbisnis membuat banyak berdiri hotel dan restoran Arab bertebaran serta masjid besar yang bisa menampung hingga ribuan jemaah.

 

Ideologi, ekonomi, dan teknologi

Kebangkitan Tiongkok seolah sudah diprediksi almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sekitar 20 tahun lalu. Setelah ia disumpah menjabat Presiden RI, Tiongkok menjadi negara pertama yang dikunjungi, tepatnya pada 1-3 Desember 1999.

Gus Dur menawarkan konsep poros Jakarta-Beijing-New Delhi. Visi dan strategi Gus Dur ialah ingin membuat politik penyeimbangan (political balancing), yang selama era Orde Baru, Indonesia lebih condong ke Amerika Serikat dan Barat.

Gus Dur dengan visinya yang luar biasa waktu itu melihat Tiongkok akan menjadi kekuatan motor penggerak ekonomi dan geopolitik dunia. Yang saat ini kita kenal dengan Abad Asia. Istilah yang digunakan, untuk mendeskripsikan kepercayaan, bahwa abad ke-21 akan didominasi politik, ekonomi, dan budaya Asia. Sama seperti abad ke-20, yang sering disebut Abad Amerika, dan abad ke-19 disebut Abad Inggris.

Globalisasi, yang selama ini didominasi AS dengan perilaku unipolar-nya, diperkirakan sebentar lagi berakhir, dengan naiknya kekuatan penyeimbang baru, Tiongkok, yang dimulai dari kebangkitan ekonomi. Dampak pandemi global saat ini seolah menjadi salah satu bukti yang makin mengakselerasi terjadinya perpindahan kekuatan (power shifting) global ke arah Asia dengan berbagai macam indikasi ekonomi, politik, sains, dan teknologi.

Tiongkok, negara pertama yang diterjang covid-19, ialah satu-satunya negara yang pertumbuhan ekonominya positif. Tumbuh 2,3% pada 2020, dan prediksi World Bank di tahun ini akan naik hingga 8%.

Melihat Tiongkok tidak bisa dengan kacamata sebelum 40 tahun lalu dengan kacamata ideologi. Apalagi, sejak Deng Xiaoping dengan Keterbukaan dan Reformasi Tiongkok (Gaige Kaifang) 1978, yang melahirkan ideologi sosialisme berkarakteristik Tiongkok, yang pragmatis, dan market driven. Komunis sebagai jubahnya, tapi baju dan perilakunya menganut ekonomi pasar.

Bagi Tiongkok, ideologi ialah urusan negara masing-masing. Seperti dalam ajaran Yan Zi, filosof kuno sekitar 2000 tahun lalu, dalam kumpulan ajaran Huai Nanzi, ia menganalogikan dengan menanam pohon jeruk di sisi selatan dan utara dari Sungai Huai. Walaupun sama-sama pohon jeruk, hasil buah dan rasanya ada perbedaan karena dipengaruhi tanah dan air yang berbeda.

Itulah mengapa melihat Tiongkok saat ini harus dengan kacamata ekonomi, dan kemajuan teknologi, selain dari sisi politik global. Salah satu contoh yang sangat nyata akan praktik keterbukaan ekonomi dan kemajuan teknologi Tiongkok ialah Kota Shenzhen, yang berbatasan langsung dengan Hong Kong. Shenzhen, yang 40 tahun lalu ialah desa nelayan miskin, oleh Deng Xiaoping dijadikan pilot project kawasan ekonomi khusus. Sekarang menjadi Silicon Valley-nya Tiongkok. Simbol kesuksesan dan kemajuan teknologi modern.

Walaupun begitu, belajar ke Tiongkok masih menjadi tantangan tersendiri. Sebagian masyarakat menganggap Tiongkok ialah negara komunis ateis yang anti-Islam. Isu sensitif dan negatif selalu menyertai jika menyebut kata Tiongkok. Persepsi yang terbangun dari pemikiran lama, dampak warisan Perang Dingin antara Blok Barat yang berideologi liberal kapitalis dan Blok Timur sosialis komunis yang sudah usang.

Bagi santri Indonesia, selain studi beragam keilmuan di Tiongkok, mulai ilmu sosial budaya, ekonomi, teknik, hingga sains dan teknologi, belajar ke Tiongkok saat ini mempunyai peran ganda, menjadi salah satu aktor penguat diplomasi antarmasyarakat atau people-to-people diplomacy, bagi hubungan kedua negara.