Diskursus Vaksin Covid-19 Masyarakat Urban dan Lokal

HINGGA sekarang, vaksin covid-19 sudah disebarkan di seluruh pelosok Nusantara. Tujuan negara menghabiskan dana triliunan rupiah ialah demi menekan jumlah orang yang terpapar covid-19. Namun, program ini tidak muncul tanpa catatan.

Berbagai diskursus muncul terkait dengan program vaksinasi ini. Diskursus awalnya, berpangkal pada tiga hal dasar, yakni terkait dengan keampuhan, keamanan, dan kehalalan vaksin yang digunakan. Diskursus awal tersebut pada akhirnya berkembang semakin cair dan luas. Diskursus vaksin covid-19 semakin berkembang dan ‘dibumbui’ dengan berbagai opini yang muncul dari para pejabat negara hingga politisi.

Di pihak para pejabat negara dan politisi, beberapa opini yang dikeluarkan bahkan semakin memperkeruh diskursus tentang tujuan vaksin covid-19 yang dijalankan negara.

Tulisan ini sebenarnya berusaha menganalisis berbagai pluralitas artikulasi diskursus vaksin covid-19, antara masyarakat urban dan masyarakat lokal. Masyarakat urban, pada tulisan ini merujuk pada mereka yang hidup di kota dan memiliki jenis pekerjaan, seperti pegawai di kantor dan perusahaan. Di sisi lain, masyarakat lokal merujuk pada masyarakat perdesaan, yang kehidupan ekonominya bergantung pada sistem ekonomi subsisten, seperti bertani dan nelayan.

Yang menarik dari tulisan ini ialah faktum perbedaan yang cukup substantif antara masyarakat urban dan masyarakat lokal dalam mengartikulasi diskursus vaksin covid-19. Walaupun berbeda, ada kesamaan artikulasi antarkeduanya. Khususnya, harapan mereka agar vaksin covid-19 menjadi obat, yang dapat membantu mereka untuk segera kembali beraktivitas secara normal.

 

Vaksin

 

Kehadiran vaksin covid-19 pastinya menjadi berita yang paling ditunggu masyarakat urban. Setidaknya, ada tiga diskursus yang sering menjadi perbincangan di ruang publik masyarakat urban.

Pertama, vaksin covid-19 akan menjadi obat ampuh dalam menurunkan angka masyarakat yang terinfeksi. Mobilitas masyarakat urban yang penuh dengan kesibukan tentunya sangat terganggu dengan realitas pandemi ini. Beberapa media sosial, bahkan dipenuhi dengan tagar ‘saya siap divaksin’. Artikulasi ini menggambarkan kesediaan masyarakat untuk segera keluar dari cara hidup ‘kenormalan baru’ dan kembali hidup seperti sediakala.

Kedua, selain terkait dengan fungsi dan efek vaksin, diskursus vaksin covid-19 juga melebar pada siapa yang berhak menerima vaksin. Polemik terjadi ketika setiap orang atau instansi mengklaim dirinya menjadi yang paling pertama dalam menerima vaksin. Polemik ini dijawab negara dengan memberikan vaksin terlebih dahulu kepada mereka yang bertugas untuk mengurus pelayanan publik. Namun, diskursus ini tetap saja ‘terbuka’ (cair) terhadap berbagai interpretasi tentang siapa yang disebut sebagai pelayan publik dan siapa yang paling berhak di antara mereka.

Ketiga, kehadiran vaksin covid-19 membuka ruang diskursus tentang kemanjuran (termasuk ‘kehalalan’) dari vaksin tersebut. Diskursus ini muncul dari kalangan masyarakat yang memiliki pengetahuan medis yang cukup baik. Diskursus tersebut semakin berkembang dengan diskursus tentang vaksin mana yang paling ampuh dari antara berbagai alternatif vaksin yang telah diproduksi.

 

Masyarakat lokal

 

Kehadiran vaksin covid-19 juga ditunggu-tunggu masyarakat lokal. Setidaknya ada tiga diskursus inti tentang vaksin covid-19. Pertama, vaksin tersebut akan mengembalikan sistem sosial-ekonomi masyarakat yang sudah dibatasi berbagai protokol kesehatan. Yang didiskusikan pertama-tama ialah bagaimana mereka kembali untuk bisa bekerja bersama-sama sebagai satu komunitas, tanpa ada berbagai aturan kesehatan yang sangat mengganggu arti kebersamaan, sebagai satu komunitas lokal. Selain itu, kehadiran vaksin covid-19 menjadi berita baik untuk kembali memperbaiki kehidupan ekonomi yang sempat terganggu.

Kedua, diskursus keamanan dan halal tidaknya vaksin yang digunakan, tidak terlalu dipikirkan masyarakat lokal. Itu karena mereka lebih fokus pada upaya untuk segera membangun kehidupan sosial-ekonomi yang terpuruk akibat pandemi covid-19. Masyarakat lokal percaya bahwa negara memiliki political will yang baik dalam menjaga kehidupan warganya.

Dengan demikian, berbagai perdebatan di media, tidak memiliki efek yang besar terhadap keinginan masyarakat lokal untuk segera mendapatkan vaksin. Walaupun demikian, diskursus ini tetap cair dan terbuka dengan kehadiran beberapa artikulasi masyarakat lokal yang terpengaruh berbagai berita media sehingga menjadi takut terhadap vaksin covid-19.

Ketiga, terkait dengan diskursus tentang siapa yang paling berhak untuk mendapatkan vaksin, masyarakat lokal tetap mengikuti aturan yang telah ditentukan negara. Masyarakat lokal bersedia menunggu gilirannya untuk segera mendapatkan vaksin yang sudah dipersiapkan secara gratis oleh negara. Yang diharapkan masyarakat lokal ialah vaksin covid-19 tidak dipolitisasi sehingga niat tulus untuk membantu masyarakat lokal keluar dari pandemi ini dapat terealisasi dengan cepat.

 

Kebijakan yang adil

 

Pluralitas diskursus vaksin covid-19 pada akhirnya menuntut sebuah kebijakan politik yang fair sekaligus just. Diksi fair merujuk pada praktik kebijakan politik yang sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, sedangkan just merujuk pada sebuah upaya keadilan substansial. Yang ditekankan dalam catatan ini ialah bagaimana membangun sebuah kebijakan yang adil secara substantif. Artinya, bahwa semua kebijakan yang diambil tidak boleh hanya berdasar pada prinsip prosedur, aturan, dan generalisasi.

Berbagai artikulasi diskursus vaksin covid-19, khususnya berasal dari masyarakat lokal, patut menjadi perhatian agar kebijakan negara tidak menomorduakan masyarakat lokal, yang juga berkeinginan untuk segera keluar dari pandemi yang mendera.

Kebijakan negara dalam menyediakan dan mendistribusikan vaksin ke seluruh pelosok daerah ialah kebijakan yang baik. Namun, setiap kebijakan tidak hanya berhenti pada penilaian moral tentang baik dan buruk. Butuh upaya lanjutan untuk dapat merealisasikan kebijakan tersebut agar dapat dirasakan seluruh warga negara, termasuk masyarakat lokal. Semoga!