MASYARAKAT kian gencar menolak rencana pemerintah mengimpor sejuta ton beras tahun ini. Mereka yang tak setuju bukan hanya petani, kelompok tani, asosiasi petani, dan pengusaha penggilingan padi, melainkan juga sejumlah kepala provinsi. Alasa mereka saat ini petani padi sedang memasuki musim panen raya dan stok beras di gudang Bulog masih ada sekitar 276 ribu ton sisa impor 2018 yang belum tersalurkan.
Jika berkaca pada perkiraan BPS, produksi gabah kering giling (GKG) nasional periode Januari-April yang mencapai 25,37 juta ton atau 14,54 juta ton setara beras, rencana impor beras kurang tepat. Angka ini lebih tinggi dibandingkan produksi Januari-April 2019 yang mencapai 23,78 juta ton GKG, atau 13,63 juta ton beras, dan Januari-April 2020 yang sebanyak 19,99 juta ton GKG, atau 11,46 juta ton beras. Dari perkiraan itu, masyarakat memahami jelas bahwa tidak ada alasan melakukan impor.
Implikasi kenaikan produksi GKG, dan rencana pemerintah untuk membuka keran impor beras, telah menekan harga gabah di tingkat petani. Saat ini, harga gabah kering panen tengah merosot di bawah Rp4.000 per kg. Kualitasnya yang rendah akibat kandungan air lebih tinggi dari 25% karena diguyur hujan saat panen membuat harga kian anjlok.
Penurunan konsumsi
Kontroversi impor beras, yang bergulir bak bola salju, menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah belum memiliki data tunggal produksi, ketersediaan, dan tingkat konsumsi beras. Mengutip data BPS terbaru, selama empat tahun terakhir tingkat konsumsi beras sudah menurun. Penurunan tingkat konsumsi beras didorong keberhasilan program diversifikasi konsumsi pangan. Masyarakat perkotaan telah berhasil mengurangi konsumsi karbohidrat dari beras. Dengan alasan kesehatan, mereka cenderung mengonsumi karbohidrat bersumber pangan lokal nonberas.
Program pemerintah one day no rice, yang digulirkan sejak terbitnya Perpres No 22/2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, telah berjalan dengan baik. Di setiap daerah, berlangsung lomba resep menu pangan B2SA (beragam bergizi seimbang dan aman), yang memperkenalkan jenis-jenis pangan lokal, untuk menyubsitusi beras sebagai makanan pokok.
Sayangnya, peningkatan produksi beras nasional dan keberhasilan diversifikasi kosumsi pangan dengan memperkenalkan keragaman pangan lokal belum mampu menghentikan gonjang-ganjing perberasan Nusantara. Polemik perlu-tidaknya impor, harga yang fluktuatif, hingga penilaian kinerja Bulog dalam penyerapan beras terus bergulir dan seolah tidak kenal berhenti.
Komoditas pangan lainnya juga mengikuti irama beras. Harga daging sapi, cabai, bawang merah, gula, garam, dan kedelai tetap sulit dikendalikan. Berbagai upaya dilakukan pemerintah mulai operasi pasar, kebijakan harga dasar, hingga pembenahan manajemen pemantauan distribusi, tetapi gonjang-ganjing masih berulang setiap tahun.
Rumitnya masalah pangan butuh pembenahan secara terpadu dari hulu ke hilir. Perbedaan data dan lemahnya kordinasi antarlembaga menjadi mesin pendorong mudahnya keran impor beras dan pangan lainnya dibuka. Jurus pamungkasnya ialah kewenangan dalam mengoordinasikan kebijakan dan implementasinya harus berada pada lembaga pangan yang tepat agar kompleksitas masalah pangan bisa diatasi.
Sejatinya, pembentukan lembaga pangan ialah amanat UU No 18/2012 tentang Pangan yang termaktub pada Pasal 126-129. Lembaga pangan itu berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Dengan tugas dan kewenangannya yang jelas di bidang pangan, lembaga itu diharapkan bisa menjadi pengambil keputusan dan mengoordinasi kebijakan pangan dari hulu ke hilir, pusat-daerah, sehingga bisa mengerem masalah pangan yang sama tidak terulang kembali.
Lembaga pangan juga harus melindungi produsen pangan, khususnya produsen dalam skala kecil seperti petani, nelayan, dan pembudi daya ikan. Lembaga pangan juga harus bisa menjadi tempat tanggung gugat bila terjadi kasus pangan yang menyimpang
Namun, realisasi pembentukan lembaga pangan nasional sudah tertunda sekitar enam tahun. Seharusnya, pemerintah membentuk lembaga pangan paling lambat akhir 2015 seperti yang diamanatkan UU No 18/2012, untuk menjamin penguatan ketahanan pangan yang berdaulat dan mandiri.
Roda pembentukannya terkesan tidak mudah digelindingkan. Pasalnya, kehadiran lembaga atau badan otoritas pangan akan menggerus kewenangan sejumlah kementerian dan lembaga terkait. Tarik-menarik kepentingannya pasti kuat di sana. Sejumlah kewenangan di bidang pangan akan terpangkas dan nantinya lembaga yang disebut sebagai badan otoritas pangan nasional akan melakukan sebagian tugas dari kementerian teknis.
Langkah solusi
Saat ini dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa, Indonesia membutuhkan kelembagaan pangan yang kuat sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam pembangun kedaulatan pangan untuk menarik gerbong kemandirian ekonomi kerakyatan. Persoalan data pangan yang kurang akurat kerap menjadi top issue pemicu munculnya masalah yang sama setiap tahun dan hanya bisa diperbaiki dengan hadirnya lembaga yang berkompeten di bidang pangan.
Ketidakakuratan data pangan sangat berdampak pada solusi atas masalah ketersediaan, distribusi, konsumsi, dan harga pangan. Untuk memastikan penyebab masalah, pendekatan lama dengan hanya mengandalkan angka produksi dan konsumsi akan membuat kesesatan dalam mengambil kebijakan. Langkah solusinya ialah kajian detail dengan pendekatan akademik perlu dilakukan untuk membuka masalah ini secara terbuka.
Sekadar menyebut contoh, selama tiga tahun terakhir, produksi beras selalu disebut meningkat. Kalau produksi itu dibagi dengan jumlah penduduk, Indonesia sudah surplus beras dan menjadi negara eksportir neto beras dan harga dalam negeri akan terjangkau daya beli rakyat. Sayangnya, harga beras terus naik dan tercatat ada impor beras setiap tahunnya.
Kekarut-marutan data ketersediaan pangan patut melahirkan kesadaran baru bahwa ada yang keliru tentang pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Masyarakat menginginkan agar ketidakakuratan data pangan itu segera diperbaiki sesuai dengan fakta di lapangan. Kunci dari stabilitas harga ialah adanya data produksi dan konsumsi pangan yang akurat dari lembaga pangan yang berkompeten dan tersedianya cadangan pangan negara, seperti yang diatur dalam UU Pangan.
Untuk menyamakan derap langkah pembangunan ketahanan pangan yang berdaulat dan mandiri, idealnya badan otoritas pangan nasional harus segera dibentuk. Urgensinya melakukan tugas dan fungsi, antara lain, pertama, memutakhirkan data ketersediaan dan konsumsi pangan secara berkala.
Kedua, menyusun kebijakan pangan nasional di bidang ketersediaan (termasuk impor), distribusi, penganekaragaman pangan, mutu konsumsi dan keamanan pangan, serta perbaikan teknologi pascapanen. Ketiga, mengoordinasikan, mengintegrasikan, menyelaraskan, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan pangan nasional dan daerah serta penanganan kerawanan pangan dan gizi. Keempat, mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan (pengelolaan stok dan pasar).
Untuk meningkatkan cadangan pangan pemerintah, badan otoritas pangan diharapkan dapat bersinergi dengan Kementerian Pertanian. Cadangan pangan pemerintah tidak lagi hanya beras, tetapi juga pangan nonberas. Oleh karena itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus melakukan pemetaan secara konkret jenis-jenis pangan lokal nonberas di setiap wilayah mereka. Konsumsi pangan pokok yang terbatas pada satu jenis akan berpotensi memicu risiko munculnya tragedi kelaparan.
Road map yang disusun akan memastikan kegiatan yang terukur dan capaian target program percepatan penganekaragaman pangan dari hulu ke hilir. Program ini harus mampu mengubah kebiasaan makan masyarakat secara menyeluruh dan berkesinambungan untuk mengerem impor beras.