KETIKA berbincang dengan mantan Duta Besar Inggris untuk Indonesia HE Moazzam Malik di London, Februari 2020, penulis mendapat amunisi semangat untuk mengembangkan dakwah Islam Indonesia di luar negeri. Kami bertemu dalam konferensi British Islam Conference, sebuah agenda penting yang mempertemukan diplomat, analis dari beberapa lembaga think-tank, pemimpin lintas negara dan aktivis perdamaian internasional.
Pada forum itu, penulis juga berdiskusi dengan beberapa pakar penting dalam diplomasi perdamaian, Prof Peter Mandaville, Prof Ebrahim Moosa, Hossein Dabbagh, dan Stephen Hoffman. Seusai konferensi, bersama Mbak Alissa Wahid dan kawan-kawan, kami dijamu makan malam oleh Pak Moazzam Malik di sebuah restoran di kawasan Oxford Road, London. Ia menyampaikan kisahnya ketika menjadi duta besar di Indonesia.
Beliau mengaku berkunjung ke berbagai kawasan di penjuru Tanah Air; menyapa ulama dan tokoh agama, menyelami kehidupan pesantren sekaligus juga berdialog dengan para santri di berbagai pesantren. Ia mengaku terpesona dengan Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang menjadi pilar moderatisme di Indonesia.
Selepas itu, Pak Moazzam juga mengajak kami untuk mendakwahkan nilai-nilai moderatisme Islam Indonesia di Inggris Raya dan Eropa. Inggris Raya dan negara-negara Eropa perlu dakwah Islam yang mengedepankan welas asih, agama yang moderat, sekaligus penuh cinta.
Di Inggris, komunitas muslim juga mengalami tantangan yang demikian besar, baik di sisi internal maupun eksternal. Di sisi internal komunitas muslim, gelombang radikalisme dan pemahaman tekstual juga semakin mengeras dan menjadi tantangan tersendiri. Banyak komunitas muslim di Inggris yang menafsirkan nilai-nilai Islam secara tekstual seraya mengabaikan konteks berupa kultur Britania Raya, yang seharusnya dipeluk dan diserap.
Sebagian juga terdampak oleh kampanye ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) melalui media sosial, yang kemudian berdonasi ataupun pergi ke Suriah untuk bergabung dengan aksi paramiliter. Dalam kenyataan itu, ketika saya berkunjung ke masjid-masjid di beberapa kota di Inggris, pemahaman terhadap teks Islam yang dimaknai secara literalis masih sebagian terjadi. Akibatnya, sebagian komunitas muslim terasa eksklusif dan menyempit, di tengah kehidupan heterogen warga Inggris Raya.
Tantangan eksternal berupa meningkatnya arus populisme–baik di bidang politik dan agama. Populisme di bidang politik mendorong isu-isu kebencian meningkat dalam kompetisi. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul politikus-politikus yang menggunakan sentimen agama di ranah politik untuk mendulang suara sekaligus mencari keuntungan dari polarisasi.
Kenyataan itu merupakan cermin dari kondisi politik di Inggris dan beberapa negara Eropa. Di tengah meningkatnya arus populisme politik, ada ancaman berupa mengerasnya pemahaman keagamaan sekaligus menguatkan gerakan-gerakan radikal. Kasus kekerasan bom di London, Inggris, 2005, dan kekerasan di Paris, Prancis, Oktober 2020, juga di beberapa negara lain, mewartakan betapa harus ada inisiasi perdamaian yang ditopang komunikasi intensif lintas agama. Lalu, bagaimana Islam Indonesia merespons perkembangan yang terjadi dalam konteks relasi agama secara global?
Diplomasi perdamaian
Komunitas muslim Indonesia sudah sejak lama mengembangkan diplomasi perdamaian baik di kawasan maupun level global. Di Asia Tenggara, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terlibat dalam kerja-kerja perdamaian serta resolusi konflik. Para kiai Nahdlatul Ulama dan beberapa tokoh kunci dari Muhammadiyah tidak lelah menyuarakan perdamaian dengan kerja nyata, baik dalam mediasi, koordinasi, dan membangun ukhuwah.
Muhammadiyah berkontribusi dalam proses perdamaian di Mindanao, Filipina Selatan, dan juga dalam proses resolusi konflik di Thailand selatan. Muhammadiyah sangat aktif dalam proses perdamaian terkait dengan kasus separatis Abu Sayyaf di Mindanao. Dalam konflik Thailand, pendekatan soft power digunakan untuk proses perdamaian.
Sementara itu, Nahdlatul Ulama sejak lama punya concern dalam perdamaian Timur Tengah dan di level global. Para kiai NU sejak lama memimpikan situasi damai antara Israel dan Palestina, yang itu bisa dimulai dengan dialog antaragama; Yahudi, Nasrani, dan Islam dalam konteks global. Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selama beberapa dekade berjuang untuk proses perdamaian itu dengan melancarkan beberapa program inisiasi serta sinergi antartokoh agama.
Konflik Israel-Palestina turut membentuk wajah dunia saat ini, dengan menguatnya eskalasi kekerasan di beberapa negara. Karena itu, penyelesaian konflik dan penguatan program deradikalisasi tidak akan komprehensif tanpa mengurai konflik Israel-Palestina. Karena itu, Gus Dur menginisiasi beberapa hal untuk menguatkan komunikasi antarpihak, baik dengan Israel maupun Palestina. Menurut Gus Dur, untuk menyelesaikan konflik di antara kedua pihak, kita harus dipercaya keduanya.
Selepas Gus Dur wafat, konsentrasi Nahdlatul Ulama untuk perdamaian Israel-Palestina tidak pernah pudar. Prof KH Said Aqil Siroj, KH Yahya Cholil Staquf, Yenni Wahid, dan beberapa tokoh lain selama beberapa tahun terakhir sangat aktif mempromosikan perdamaian di level global. Pada Juni 2018, Gus Yahya diundang American Jewish Committee (AJC) untuk memberikan ceramah di Jerusalem. Di hadapan komunitas Yahudi Jerusalem, Gus Yahya menekankan pentingnya agama menggaungkan kembali nilai-nilai rahmah, compassion.
Pada kesempatan yang sama, Gus Yahya juga bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu. Di hadapan Netanyahu, Gus Yahya menekankan pentingnya kedaulatan Palestina, yang menjadi konsentrasi besar umat muslim Indonesia. Selain itu, Gus Yahya menekankan pentingnya proses perdamaian di antara kedua negara, Israel dan Palestina.
Soft power Islam Indonesia
Indonesia berpeluang besar untuk menjadi juru damai konflik Israel-Palestina serta menjadi mediator beragam konflik internasional. Kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim yang besar di dunia merupakan modal penting yang harus dimaksimalkan. Nilai-nilai Islam Indonesia yang mewartakan rahmatan lil-‘alamin, moderatisme, washatiyyah, dan nilai-nilai penting lainnya merupakan kunci untuk menggaungkan perdamaian di level global.
Dalam relasi antarnegara, khususnya di wilayah global affair, agama telah difungsikan sebagai soft power. Perkembangan relasi Saudi-Iran, Turki, Israel, Palestina dan beberapa negara membuktikan betapa agama, difungsikan–dalam konteks statecraft–sebagai soft power (Peter Mandaville & Shadi Hamid, 2018).
Indonesia juga berpeluang untuk memaksimalkan modal besar kekuatan komunitas Islam sebagai soft power. Apalagi, para kiai Nahdlatul Ulama punya nilai penting yang dapat menjadi panduan bersama; ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan antarsesama muslim), ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan umat manusia), dan ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan). Nilai-nilai ini merupakan modal penting untuk merajut perdamaian di lingkup internal, kawasan, hingga ranah internasional.
Kita harus memaksimalkan kolaborasi untuk diplomasi perdamaian; antara pemerintah, ormas Islam, dan jaringan internasional dalam ritme yang indah. Para diaspora santri yang tersebar di berbagai negara sangat mungkin untuk menguatkan fungsi diplomasi publik, bersama para diplomat pemerintah dan jaringan KBRI/KJRI di lintas negara.
Sudah saatnya diplomasi publik dikuatkan dengan memaksimalkan potensi besar diaspora santri yang tersebar luas di lebih 35 negara. Perlu ada inisiasi untuk menggerakkan simpul-simpul yang ada, yang kemudian diaktifkan menjadi key player dalam arus besar diplomasi publik yang diorkestrasi sesuai dengan visi besar bangsa Indonesia.
Tentu saja, kita memiliki pekerjaan rumah yang besar; menjaga perdamaian internal sekaligus menguatkan narasi kebinekaan. Persaudaraan antaragama, antarumat manusia, dan persaudaraan antaranak bangsa harus terus dikuatkan. Energi kebaikan jangan sampai kalah dengan energi kebencian.