BAHAN berdiskusi, terutama soal kebahasaan, sering muncul saat saya menonton televisi bersama keluarga, teman, atau kerabat. Ada saja kata atau istilah yang bisa dijadikan bahan perbincangan, mulai perbincangan yang konyol, lucu, informatif, bahkan bisa jadi serius. Atau bisa jadi berawal dari pembicaraan yang sederhana menjadi pembicaraan yang serius, penuh kritikan.
Pada suatu saat, tentu saja saat menonton televisi bersama, muncul pembicaraan semiserius mengenai istilah ‘layar kaca’ yang kebetulan disebutkan seorang pewarta berita di televisi. Berawal dari pertanyaan anak kami yang mempertanyakan mengapa kita menyebutkan istilah ‘layar kaca’ untuk padanan kata televisi? Pertanyaan dia lebih menitikberatkan pada mengapa dipakai kata ‘layar’? Bukankah yang disebut layar itu ialah kain tebal yang terdapat dalam perahu dan dipakai untuk menadah angin?
Sambil membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saya menjelaskan bahwa yang dimaksud dia soal arti dari layar itu memang benar. Dalam KBBI, arti dari layar itu memang ‘kain tebal yang dibentangkan untuk menadah angin agar perahu (kapal) dapat berjalan (laju)’. Akan tetapi, terdapat pula arti lain dari kata layar itu di dalam KBBI, yaitu tabir (tirai) penutup jendela (pintu); tirai; kelir (dipakai pada pertunjukan gambar hidup, drama, wayang kulit, dan sebagainya)’, atau bisa juga ‘bidang (berupa kain, papan, kaca) tempat menayangkan gambar (film, televisi, dan sebagainya)’. Definisi terakhir itulah yang menyebabkan kita bisa menggunakan istilah ‘layar kaca’ untuk padanan televisi.
Saat mendengar penjelasan dari saya, istri saya yang sedari tadi hanya mendengarkan juga ikut membuka KBBI. Dia ternyata mencari arti dari layar kaca itu sendiri. Dengan nada sedikit kecewa, dia lalu bertanya ke saya, “Kok di sini (KBBI) layar kaca artinya cuma ‘layar gelas’ sih? Maksudnya apa?”
Lalu, dia mencari frasa layar gelas dan baru menemukan jawabannya. “Oh, jadi artinya ‘layar pesawat televisi tempat menayangkan gambar; layar kaca.”
Diskusi belum berakhir sampai di sini. Mantan pacar saya ini pun kembali mempertanyakan mengapa definisi itu diterangkan di ‘layar gelas’ bukannya di ‘layar kaca’ saja? Bukankah istilah ‘layar kaca’ lebih sering dipakai masyarakat daripada ‘layar gelas’? Saya hanya tersenyum sambil mengangguk membenarkan. Mungkin jawabannya bisa dijelaskan langsung oleh para penyusun KBBI.
Karena serunya diskusi soal kata ‘layar’, anak saya kembali bertanya soal istilah lain yang menggunakan kata layar. Mulai ‘layar lebar’, ‘layar perak’, hingga ‘layar tancap’ yang–alhamdulillah–semua definisinya ada di KBBI.
Sejurus kemudian, istri saya bertanya lagi, jika melihat perkembangan teknologi saat ini, apakah masih layak kita menggunakan istilah layar kaca untuk padanan televisi, mengingat saat ini layar televisi sudah tidak lagi menggunakan bahan kaca, tetapi kristal cair–maksudnya televisi LED? Kristal cair tentu bukan berasal dari kaca, melainkan dari zat kolesterol benzoat yang awalnya ditemukan dari ekstrak wortel oleh ahli botani asal Austria, Friedrich Reinitzer.
Saya menjawab bisa saja suatu saat muncul lagi istilah baru seperti ‘layar kristal’ yang merujuk pada televisi jenis LED. Akan tetapi, bisa juga masyarakat tetap menggunakan istilah ‘layar kaca’ karena faktor kenyamanan. Sama seperti kita masih menyebutkan ‘kartu keluarga’ meski rupanya sudah berbentuk secarik kertas, atau surat izin mengemudi yang rupanya kini berbentuk kartu. Pada momen inilah, kami serentak tertawa lepas.