DI musim panas yang terik, tiga tahun lalu, seorang perempuan cantik berparas khas Persia berusia tiga puluh lima tahunan dengan lantang memaparkan diskursus Islam Indonesia di hadapan deretan profesor yang mengujinya. Seorang profesor sepuh mengomentari presentasinya tentang pengaruh tasawuf terhadap penyebaran Islam di Indonesia dengan raut muka berbinar-binar, "Selamat, ini riset baru di Iran, Anda telah memulainya dengan memukau. Sebuah jalan baru sedang dibentangkan di negara ini."
Saya yang hadir di barisan depan ikut mengangguk bersetuju seraya menoleh wajah istri di samping yang tampak ikut bersukacita. Dua bola matanya bak sedang bersulang merayakan sebuah pesta kemenangan kecil. Bagi kami, pertemuan ini menjadi satu fase penting untuk melihat hasil kerja dalam kesunyian yang mulai membuahkan hasil.
Nilai nyaris sempurna yang diraih Faezeh dalam ujian disertasinya, buah jerih payah belajar bahasa Indonesia selama bertahun-tahun, selain kefasihannya mengakses literatur berbahasa asing lain seperti Arab, Inggris, dan Urdu.
Lompatan
Upaya mengenalkan bahasa Indonesia di Iran sudah dilakukan 19 tahun silam, sekitar setahun setibanya saya di tanah Persia. Beberapa mahasiswa Indonesia juga melakukannya. Namun, ranahnya sangat terbatas. Ketika itu, orang-orang Iran yang meminati belajar bahasa Indonesia cenderung homogen dari kalangan pelajar agama saja. Kecuali belajar bahasanya, mereka rata-rata kurang tertarik menyelami khazanah kebudayaan Indonesia.
Namun, kemudian terjadi lompatan selama enam tahun terakhir, tepatnya Maret 2015. Pendulum perubahan mengayun, ketika saya secara tidak sengaja bertemu dan bergabung sebagai pengajar bahasa Indonesia dalam lingkaran kecil yang solid. Mereka segelintir ahli dan calon ahli yang memang fokus menekuni studi Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Ada profesor tasawuf, ahli sejarah kebudayaan, dan filolog yang dipertemukan ketertarikan besar untuk menggali model Islam di Asia Tenggara, terutama di Indonesia yang moderat.
Berada di dalam komunitas ini, bagi saya, seperti terlempar jauh ribuan kilometer ke Tanah Air. Terutama, ketika bersama-sama mendiskusikan berbagai gagasan pemikir Islam Indonesia dari KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan hingga Gus Dur dan Cak Nur yang masih asing di Iran.
Di lingkaran kecil ini, berbagai isu mengenai dinamika keagamaan Indonesia dibahas secara jernih, dan jauh dari hiruk-pikuk politik, apalagi kontestasi sektarian. Buah kerja di jalan sunyi ini lumayan ranum dan matang. Puncaknya lahir sekitar 400 entri tentang Indonesia yang dimuat dalam Ensiklopedia Dunia Islam yang saat ini memasuki jilid ke-30 di bawah bendera lembaga bergengsi Encyclopaedia Islamica Foundation.
Ironisnya, kerja-kerja penyusunan entri tentang khazanah Indonesia di ensiklopedia berbahasa Farsi acap kali dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan kita sendiri. Beberapa pihak menilai keterlibatan dalam komunitas sunyi dan kerja penulisan di dalamnya tidak berkaitan langsung dengan persoalan hubungan bilateral. Terutama, peningkatan hubungan ekonomi dan politik.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan memicu resistensi secara politik dari pihak tuan rumah karena dipandang membentangkan karpet merah untuk wacana yang dianggap berbeda dengan tatanan nilai keagamaan dominan di Iran. Namun, kedua asumsi tersebut tidak terbukti. Fakta menunjukkan sebaliknya.
Kedua reaksi ini lahir dari asumsi yang telanjur diterima. Bahkan, pada tingkat kebijakan diplomatik akibat kecenderungan dominasi pendekatan politik dan teologis dalam melihat Iran. Akarnya bisa dilacak pada riset-riset akademis tentang Iran di Indonesia. Bahkan, riset terbaru di bidang pendidikan Islam pun masih mengaitkan Iran dengan persoalan teologi dan rivalitas ideologisnya di Timur Tengah.
Sebagai jembatan
Masalahnya, pendekatan politik dan teologis an sich tidak akan membentangkan jalan yang baik bagi dialog budaya dan peradaban yang konstruktif di antara kedua negara. Dari gerbang inilah, kehadiran nahdliyyin (nahdiyin/warga Nahdatul Ulama) di Iran sebagai jembatan untuk mengembangkan model hubungan yang lebih konstruktif dengan menyemai Islam wasathiyah di tanah Persia.
Salah satu persoalan fatal luputnya pendekatan budaya dalam memandang Iran ialah kegagalan membaca peta besar. Di antaranya ketidakjelian menangkap peran elite budaya dan institusinya yang bersifat personal, otonom, dan berpengaruh. Ensiklopedia Dunia Islam termasuk contohnya. Hasil kerja mereka memberi efek domino kepada tingkat kebijakan makro di Iran.
Dari lembaga budaya ini, muncul beberapa ahli di bidang Indonesia yang aktif menulis paper hingga buku yang memantik gelombang baru pengkajiannya di Iran. Tidak lama berselang, Pusat Bahasa Universitas Teheran membuat program pengajaran bahasa Indonesia dan Pascasarjana Fakultas Ilmu Politik dan Hukum Universitas Teheran membuka kajian Asia Tenggara yang sudah berjalan sekitar lima tahun. Semua proses berjalan secara organik, dari kalangan akademisi, dan relatif tidak melibatkan instansi pemerintah Iran dan Indonesia.
Di ranah ekonomi, salah seorang pakar ekonomi politik Iran dua tahun lalu menulis artikel singkat yang viral tentang masa depan Indonesia dengan perspektif yang sangat optimistis. Tidak hanya itu, Indonesia masuk buku pelajaran IPS SMP kelas 2 tahun ajaran 2020-2021. Di buku anak saya, disebutkan, nama Indonesia sebagai salah satu negara yang diperhitungkan di Asia.
Selain itu, semakin banyak mahasiswa Iran yang mulai mengambil riset tentang Indonesia. Namun, sayangnya, tidak dibarengi dengan antusiasme yang tinggi dari pihak kita sendiri. Tanpa dukungan nyata dari semua pihak, benih yang disemai dalam kesunyian akan layu sebelum berkembang.