DI masyarakat kita ada stereotip terhadap suku tertentu. Misalnya, orang Jawa pemalas, orang Padang pelit/kikir, orang Batak atau kawasan Indonesia Timur kasar. Generalisasi negatif semacam ini tentu tidak benar dan mesti diluruskan karena ada juga orang Jawa yang rajin, Batak yang santun, dan seterusnya. Makanya, saya terenyuh ketika kawan saya asal Flores, Donatus Ola Pereda, wafat pada Senin (15/3). Terenyuh bukan lantaran kematiannya yang begitu mendadak, melainkan ada beberapa teman yang menyebut Kaka Don–demikian ia akrab disapa–sebagai orang Flores yang bertutur kata lembut, orang NTT yang tidak bisa marah, dan sebagainya.
Apa yang mereka katakan benar. Don memang murah senyum dan suka menolong. Akan tetapi, menurut saya, sifat ataupun laku manusia, entah baik maupun buruk, semestinya jangan dilihat dari latar belakang suku ataupun agamanya. Itu karena cara pandang semacam inilah yang memunculkan prasangka-prasangka rasial. Mereka mungkin telah terpengaruh hegemoni wacana dominan selama ini yang menganggap masyarakat dari kawasan timur, berangasan. Munculnya Nazi bukan berarti semua orang Jerman ialah ‘binatang’ kejam dan brutal, begitu pun tidak semua muslim teroris, Yahudi culas atau licik, dan sebagainya.
Film-film Hollywood, sinetron, juga media massa, menurut saya, kadang ikut bertanggung jawab membangun konstruksi semacam ini. “Kita adalah apa yang kita percaya,” kata sejarawan Belanda, Rutger Bregman. Jika kita percaya orang lain tidak bisa dipercaya, kita tentu akan selalu hidup penuh curiga dan itu tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga semua orang. Jika kita ingin menghadapi tantangan terbesar zaman ini, entah krisis iklim maupun prasangka-prasangka rasial, kata dia, kita harus memulainya dengan mengubah pandangan tentang hakikat manusia.
Selama ini, di masyarakat kita kadang masih bersemayam stereotip-stereotip semacam itu. Tidak mengherankan, misalnya, jika ada etnik tententu melakukan kejahatan, seperti merampok atau mencopet, masih muncul umpatan, “dasar…..!” Bregman, dalam bukunya, Human Kind: Sejarah Penuh Harapan (2020) berkesimpulan pada dasarnya semua manusia baik meski bukan malaikat. Kita merupakan mahkluk kompleks, dengan sisi baik dan kurang baik. Persoalannya ialah sisi mana yang mau kita tonjolkan?
Ada satu kisah menarik yang dikutip Bregman di bukunya yang setebal 444 halaman itu. Cerita itu ia temukan di internet yang tidak jelas asal-usulnya, tapi bermakna dalam. Begini kira-kira kisahnya: Seorang kakek berkata pada cucunya bahwa ada dua serigala yang terus bertarung dalam setiap diri manusia. Satu bersifat baik, satu jahat. Sang cucu bertanya: Siapa dari mereka yang keluar sebagai pemenang? Si kakek tersenyum dan menjawab pelan: “Yang kamu beri makan.”
Ah, saya lantas jadi teringat Kaka Don. Saya rasa ia dengan tulus telah merawat dan memelihara serigala baik itu. Selamat jalan orang baik.