Pancasila dan Deradikalisasi Agama

MISALKAN, Pancasila itu sudah dilaksanakan di bumi Nusantara secara utuh, tentu tidak akan ditemukan orang memilih jalan puritanistik dalam beragama. Apalagi, sampai mencelakakan diri atau mereka yang berlainan keyakinan untuk meraih surga Tuhan. Pancasila, sebagaimana khitah dilahirkannya, dihadirkan sebagai ‘jalan tengah’ dari beragam ideologi dan kepentingan, termasuk jalan tengah dari tarikan tendensi keagamaan yang formal (syariat).

Pancasila, menjadi ‘titik temu’ segenap warga dalam mengelola bangsa, termasuk kaitannya dengan sistem keyakinan. Tidak boleh ada warga yang merasa lebih tinggi dan superior sehingga merasa berhak bertindak semaunya sendiri. Pancasila hadir menjadi semacam ‘agama sipil’: suatu kebaikan universal hasil konsensus para pendiri bangsa.

Sebuah ‘kesepakatan politik’ yang dibayangkan menjadi lem perekat keindonesiaan yang multikultural, multietnik, dan multiagama.

Perserikatan Muhamadiyah, menyebutnya dengan ‘negara perjanjian’ (darul ahdi) dan ‘negara persaksian’ (darusy syahadah). Pancasila menjadi penting, bukan sekadar sila-silanya melambangkan keluhuran pikiran, yang digali dari kedalaman sumur kearifan Nusantara dan keluasan keagamaan. Namun, juga pada Pancasila ada sebuah mimpi tentang masa depan keindonesiaan gemilang, yang salah satunya, harus diwujudkan dari upaya serius segenap warga, menjahit tenun keragaman, sampai kemudian, menjadi ‘kain songket’ yang indah dikenakan, nyaman dipakai dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat.

 

Sebuah percakapan mengagumkan

Pancasila, sejak didiskusikan di ruang sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni, sampai kemudian berlanjut 22 Juni, dan disahkan pada 18 Agustus 1945, membawa semangat mendorong hidup bersama. Bahwa perbedaan, bukan alasan saling menegasikan. Namun, justru menjadi pintu masuk, untuk mengentalkan kekayaan budaya Nusantara. Sekaligus, menjadi jembatan terbangunnya bangsa yang kukuh.

Pancasila, seperti dikatakan Soekarno, sebagai philosophsche grondslag (filsafat mendasar). Pikiran yang sedalam-dalamnya, untuk di atasnya didirikan bangunan ‘Indonesia Merdeka Yang Kekal dan Abadi’. Muhammad Yamin menyebutnya, sebagai ‘Pancasila itu, sebagai benda rohani yang tetap, dan tidak berubah sejak Piagam Jakarta sampai pada hari ini’.

Misalkan, Pancasila itu telah dihayati secara optimum oleh segenap warga, maka yang akan mengemuka adalah pikiran Bung Karno yang mentahbiskan keragaman, sebagai pintu masuk menumbuhkan sikap lapang dalam melihat berbagai hal. Indonesia, sebagai tamansari aneka agama, budaya dan kepercayaan.

Sebagaimana ditegaskan Soekarno,“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia. Bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua.”

Lebih dari itu, lewat jendela Pancasila, pintu dunia menjadi terbuka. Agama-agama yang hidup di Indonesia memberikan kontribusi terbaiknya dalam menawarkan cara hidup yang tertib dan harmonis. Indonesia menjadi sebuah laboratorium tentang perbedaan, yang mampu menjadi energi positif terbangunnya kohesivitas sosial.

Nalar seperti ini, yang dibilang Bung Karno sebagai ‘pandangan-dunia’ atau weltanschauung, “Tidak ada satu weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realitiet, jika tidak dengan perjoangan!…Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Namun,Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!…Tuan-tuan jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia’.

 

Alarm dari Makassar

Tentu, siapa pun akan bersedih hati, melihat peristwa tragis bom bunuh diri sepasang suami istri yang meledakkan tubuhnya di depan Katedral Makassar, dan kemudian, berlanjut penyerangan seorang teroris perempuan ke Mabes Polri. Peristiwa seperti ini, bukan pertama kali. Namun, berulangkali, bahkan nyaris dengan modus yang tidak jauh berbeda. Lebih tragis lagi, mendengar respons beberapa elite agama, yang alih alih mengutuk, namun, lewat pernyataannya malah seolah memberikan permakluman.

Tentu, siapa pun paham, bahwa pilihan keliru seseorang menjadi teroris bukan semata soal alasan agama, teapi juga terhubung dengan keadaan sosial, politik dan lainnya. Namun, menyingkirkan aspek agama dari alam pikiran teroris tentu sangat keliru, sebagaiman kelirunya seorang yang berasumsi bahwa terorisme itu semata bermotifkan agama.

Dalam konteks keagamaan, terorisme berawal dari cara pandang terhadap teks-teks keagamaan secara harfiah, dan memandang mereka yang berlainan faham sebagai bid’ah dan kair. Inilah, yang menjadi pusaran dari apa yang disebut puritanisme. Ketika puritanisme ini telah sepenuhnya menutup akalnya dari jendela luar sehingga seluruh nalarnya hanya menyisakan warna hitam putih, maka kita menyebutnya fundamentalisme.

Dari fundamentalisme, yang tak lagi terorganisasikan dengan ‘lian’ maka ke arah terorisme tinggal selangkah lagi. Itulah yang terjadi di Makassar, dan di banyak tempat pada sepuluh tahun terakhir. Itu juga, yang dipanggungkan ISIS di Timur Tengah, yang bikin negara-negara di kawasan itu berantakan tidak karuan.

 

Empat jalan

Empat hal, yang semestinya diperhatikan dalam mengembalikan umat pada jalur faham agama yang inklusif (deradikalisasi agama). Pertama, negara harus selalu hadir, dan menegakkan hukun tanpa pandang bulu menindak setiap kemungkinan yang dipandang berpotensi mengganggu ketertiban umum, termasuk juga “membersihkan” lembaga negara, kementrian, BUMN yang sudah terpapar faham radikal. Di samping juga, negara berupaya serius memenuhi kewajibannya yang lain: mendistribusikan keadilan kepada publik.

Kedua, sistem pendidikan kewargaan (Pancasila), harus dikuatkan kembali dengan membenahi segenap aspek di dalamnya, mulai dari kurikulum, metode pembelajaran dan seterusnya.

Ketiga, ormas-ormas keagamaan yang berhaluan moderat, terus-menerus menginjeksikan faham inklusifnya kepada seganap warga, dan menguatkan jejaring satu sama lain sampai tingkat akar rumput, dan, pada seluruh sektor kehidupan. Keempat, pentingnya kembali menafsirkan keagamaan secara progresif, kontekstual dan membumi.

Alhasil, deradikalisasi agama bukan hanya penting, namun, juga satu keniscayaan. Salah satunya, lewat Pancasila. Pancasila yang tidak lagi dimonopoli penafsirannya untuk kepentingan penguasa, seperti pada era rezim Orde Baru, tapi Pancasila yang benar-benar masuk ke penghayatan alam batin massa. Pancasila, yang diturunkan dari mitos, menjadi logos dan pada akhirnya menjadi etos. Pancasila sebagai laku.