SAAT ini umat Katolik sedang berada dalam ziarah masa puasa selama 40 hari. Masa puasa disebut juga masa pra-Paskah, yakni umat Katolik menyiapkan ruang batin agar pantas merayakan pascakebangkitan Kristus. Selama rentang waktu itu, orang Katolik melakukan puasa dan pantang, sebagai tanda pertobatan, penyangkalan diri, dan mempersatukan sedikit pengorbanan dengan pengorbanan agung Yesus di kayu salib sebagai silih dosa, dan demi mendoakan keselamatan dunia.
Puasa dan pantang tidak pernah terlepas dari doa. Kitab Hukum Kanon nomor 1249 menegaskan bahwa selama masa pra-Paskah, puasa, pantang dan doa, disertai juga dengan perbuatan amal kasih bersama-sama, dengan semua anggota gereja yang lain. Maka, pantang dan puasa bagi orang Katolik ialah momen latihan rohani untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama, dan bukan sebatas tindakan remeh-temeh, seperti diet supaya kurus, menghemat belanja, dan sebagainya.
Puasa 2021 dirayakan di tengah pandemi covid-19 yang menghadirkan penderitaan global. Manusia telah melakukan beragam upaya yang berpuncak pada vaksinasi, untuk memutus laju pandemi. Sadar akan kerapuhan manusiawi, sejujurnya kita membutuhkan intervensi dari luar diri manusia, yaitu Tuhan untuk menguatkan, dan memberkati semua upaya kita.
Melalui latihan rohani, umat Katolik diharapkan agar menyalibkan egoisme, menggelorakan solidaritas kemanusiaan, sebagai buah dari jalan mendekatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan. Maka, kehendak-Nya akan melebur menjadi kehendak kita. Karena kehendak Tuhan yang terutama ialah keselamatan dunia, melalui puasa dan pantang, umat Katolik diundang Tuhan untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan dunia dengan cara yang paling sederhana, yaitu berdoa dan menyatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib.
Selama puasa di masa pandemi ini, umat Katolik mendoakan keselamatan dunia dengan mulai mendoakan keselamatan orang-orang terdekat dengan kita: orangtua, suami/istri, anak-anak, saudara, teman, dan juga kepada para pemimpin dunia, pemimpin negara, ulama, pemimpin gereja, lingkungan alam, dan seluruh umat manusia.
Sebagai orang beriman, kita selalu percaya bahwa Tuhan akan mendengarkan dan mengabulkan puasa, doa dan amal kita yang merupakan bentuk kerendahan manusia di hadapan Tuhan yang menjadi kekuatan hidup dan perjuangan di tengah dunia.
Doa dan puasa selama masa puasa tidak serta-merta membuat umat Katolik menjalani kehidupan ‘fuga mundi’, menyingkir dari dunia ramai dan hidup sebagai petapa di tengah realitas wabah pandemi. Sebaliknya, semakin peka dengan realitas, terlibat dalam solidaritas dan kasih kemanusiaan menolong sesama (korban), dan berpartisipasi bersama semua orang yang berkehendak baik untuk memutus laju pandemi.
Kita dapat menimba inspirasi itu dari beragam titian yang kaya makna. Salah satunya ialah karya sastra. Kita bisa belajar mengasah kepekaan kita melalui narasi hidup para tokoh yang setia menghadirkan nilai kebijaksanaan, betapa pun melalui tindakan sederhana.
Tobat: terbuka pada realitas
Karya sastra, ialah cermin dari realitas. Ia selalu menghadirkan paradigma, model-model hidup, model-model berpikir, dan model-model tindakan tokoh-tokohnya yang menarasikan tanggapan ‘spiritual’ atas realitas. Hal ini terbaca dalam permenungan filosofis-sastrawi Albert Camus (1913-1960), filsuf-sastrawan Prancis, dalam novel La Paste (1947). NH Dini menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sampar (1985).
Novel ini menceritakan perjuangan penduduk Oran, Aljazair melawan serangan virus sampar mematikan. Realitas Sampar menyediakan ruang refleksi yang bisa mengubah cara hidup, berpikir, dan bertindak para tokoh. Dalam konteks puasa, realitas bisa menginspirasi pertobatan (metanoia). Romo Paneloux, misalnya, ialah seorang Imam Jesuit, intelektual, penulis, dan tokoh terpandang yang akhirnya ‘bertobat’ dalam berpikir dan bertindak di tengah wabah sampar.
Awalnya, Romo Paneloux mengganggap sampar sebagai hukuman dari Tuhan, bagi penduduk Oran yang hidup individualis, egois, dan hedonis. Dalam khotbah-khotbahnya, ia mengecam umat yang hidup dalam nikmat dosa dan menyerukan pertobatan agar segera terbebas dari hukuman sampar. Saat bertemu Dokter Rieux yang berjuang mengobati pasien, ia mengkhotbahinya agar bekerja untuk keselamatan hidup manusia. Dokter Rieuz merespons sinis pada Romo Paneloux, “Bagi saya istilah keselamatan itu terlalu tinggi, kedengaran bombastis. Saya sebagai dokter hanya bekerja agar orang-orang yang sakit menjadi sehat kembali.”
Namun, keangkuhan rohani Romo Paneloux berubah total saat ia melihat sendiri penderitaan dan kematian Phillipe, anak yang suci tanpa noda, putra seorang hakim. Pergulatan anak yang masih murni berhadapan dengan salib deritanya hingga kematian tragis itu, akhirnya mengubah haluan hidupnya. Khotbah-khotbahnya berubah total: dari kecaman atas dosa menjadi ajakan untuk terlibat membantu para korban pandemi sampar dan bersinergi memutus penyebaran sampar.
Dia menjadi relawan dan tinggal di rumah seorang ibu tua yang rajin ke gereja setiap pagi karena kamar pastorannya dibersihkan dari wabah. Romo Paneloux akhirnya terpapar virus sampar. Ia meninggal sambil memeluk salib.
Solidaritas pandemi
Sembari berkaca pada keistimewaan otonomisasi teks sastra dalam Sampar, dan realitas pandemi covid-19, puasa 2021 harus mengajak umat Katolik bertanya diri: saya harus berbuat apa untuk memberi makna hidupku bagi sesama dalam situasi ini?
Romo Haryatmoko mengingatkan kita, “Ini momen bagi kita menjadi sederhana, tidak perlu tampil mewah, megah, penampilan lebih sederhana, apa adanya, selera kita pun sesuaikan dengan situasi, bahkan pembicaraan. Di situ tidak ada lagi kesombongan, arogansi, topeng-topengan, tidak perlu salahkan pemerintah karena lamban ambil tindakan yang keluar dari rasa takut dan kepanikan.” (Motv: 2020).
Puasa di tengah pandemi ialah momen tepat bagi pemuka agama mengajak umat mendalami iman, tapi tetap terbuka terhadap penjelasan rasional yang melatih rasio agar lebih peka menghayati agama dengan tidak mengabaikan realitas yang dihadapi. Agama tidak boleh menggoda kita keluar dari realitas. Pemuka agama mesti membantu umat agar tidak jatuh dalam hiburan wacana apokaliptik berupa ramalan penderitaan.
Agama mesti membuat kita jadi realistis melalui tindakan konkret: saya harus buat apa pada diri sendiri, dan orang dekat dengan menjadikan ajakan tetap memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, membatasi mobilitas, dan proaktif mengikuti vaksinasi sebagai bagian dari perintah puasa kontekstual.
Realitas pandemi covid-19 yang sangat pahit dan berat ini mesti mengubah persepsi kita agar menjadi lebih baik, yaitu lebih peka, tanggap, dan solider. Jean Tarrou mengingatkan kita, “Saya hanya tahu harus mengerjakan apa yang harus dikerjakan, supaya tidak menderita sampar lagi, dan bahwa hanya itulah satu-satunya yang bisa memberikan harapan kedamaian atau kalau tidak kematian yang tenang. Itulah yang dapat meringankan beban manusia. Kalau tidak menyelamatkan, sekurang-kurangnya membuat penderitaan mereka sekecil mungkin, dan bahkan kadang kala membuat sedikit kebaikan (Sampar: 218-219).
Bagi Albert Camus, berada di tengah penderitaan bersama orang lain berarti terpanggil untuk hidup yang bersemangatkan compassion. Hanya dengan semangat itulah kita akan tampil sebagai pribadi beriman yang autentik karena dapat memahami dan menyikapi penderitaan diri dan sesama selama masa puasa 2021 ini. Selamat memaknai puasa bagi segenap umat Katolik!