RUU Perampasan Aset semakin Mendesak Dibutuhkan

 

KESERIUSAN pemerintah dalam memberantas korupsi tidak hanya dengan menjaga komitmen memberikan hukuman berat secara fisik bagi pelaku tidak pidana korupsi tapi juga komitmen kuat untuk merampas aset para pelaku yang menjadi kerugian negara. Proses hukum tindak pidana korupsi selama ini dinilai masih belum maksimal tanpa ada aturan yang fokus untuk mengatur tentang perampasan aset.

Dalam diskusi daring Urgensi Undang-Undang Perampasan Aser untuk Menyokong Agenda Pemberantasan Korupsi, Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan hal itu. RUU Perampasan Aset yang saat ini tak kunjung mendapatkan titik terang telah mengatur secara rinci 26 jenis tindak pidana kejahatan ekonomi yang kemudian dapat diganjar dengan perampasan aset.

"Progres dari proses hukum kita masih sangat minimal. RUU ini bukan hanya untuk pidana ekonomi tapi juga semua. Ada 26 jenis kejahatan. RUU ini bisa dipakai untuk semua tindak pidana ekonomi. Kita tidak bisa melakukan suatu penegakan hukum secara berdiri sendiri karena ada standar internasional," ujarnya.

Pemerintah tidak bisa mengukur tingkat efektivitas pemberantasan korupsi secara internal tanpa melihat standar internasional. Hal tersebut menjadi tantangan terbesar dengan menjaga konsistensi. Menurut PPATK terdapat beberapa tindak pidana ekonomi yang paling berisiko yakni korupsi, narkoba, perbankan, pasar modal, dan pajak. Kelimanya memberikan dampak besar terhadap perkembangan ekonomi khususnya kerugian yang ditimbulkan 20%-40% dari PDB suatu negara khususnya negara berkembang.

"Oleh karena itu, hal tersebut menjadi tantangan terbesar ketika kita harus menjaga konsistensi," katanya. Dia mengungkapkan dalam praktiknya kerja PPATK dalam melakukan penelusuran dan analisis keuangan tidak pidana ekonomi khususnya korupsi sering tidak sejalan dengan proses hukum bahkan putusan pengadilan. Padahal dalam sehari PPATK menerima informasi dan data 300-400 laporan yang setelah dianalisis kemudian diserahkan kepada penegak hukum. (OL-14)