BOM berdaya ledak tinggi terjadi di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu, (28/3/2021) sekitar pukul 10.20 Wita. Bom bunuh diri itu melukai 14 orang di lokasi kejadian. Insiden itu berlangsung saat terjadi pergantian perayaan pertama dan kedua Misa Minggu Palem bagi umat Katolik di Paroki Katedral Makassar.
Insiden kelam itu memunculkan beragam reaksi, baik berupa doa untuk perdamaian antarsesama umat dan elemen warga negara, ungkapan rasa prihatin, kecaman, harapan, dll. Utamanya meminta pihak berwajib mengusut aksi dan dalang di baliknya. Semua pihak sepakat, bom apa pun bentuknya, menyasar warga negara tak berdosa atau tempat ibadah agama apa pun, ialah bentuk pengingkaran terhadap heterogenitas negeri baik suku, agama, ras, dan golongan. Aksi bom merupakan bentuk pengingkaran paling brutal atas heterogenitas yang merupakan mozaik indah Indonesia sejak negeri ini berdiri.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas geram. Ia mengutuk keras insiden bom bunuh diri dari rumah ibadah di Jalan Kartini, Makassar, kota bertajuk 'Angin Mamiri' itu. Insiden tersebut, kata Yaqut, merupakan tindakan keji. Sebuah aksi yang menodai ketenangan hidup bermasyarakat. Bahkan, jauh dari ajaran agama apa pun.
Tindakan bunuh diri konyol jenis ini tidak dibenarkan karena dampaknya tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga orang lain. Mengapa terjadi teror bom dan apa motif di balik itu? Ini pertanyaan retoris dalam benak publik yang tentu juga segera merasuk ke hati pemerintah dan institusi penegak hukum.
Masih jadi ancaman
Siapa pun tentu maklum. Terorisme masih menjadi ancaman serius terhadap pemerintahan yang sah. Warga masyarakat, objek vital negara, rumah ibadah umat beragama masih menjadi ancaman serius. Tak berlebihan, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo responsif atas insiden tersebut. Mantan Kabareskrim Polri itu bersama jajarannya berkomitmen memberangus semua jaringan terorisme di Indonesia. "Kami sedang dalami dan melakukan olah tempat kejadian perkara," tegas Sigit di Jakarta, Minggu (28/3/2021).
Insiden bom bunuh diri di Katedral Makassar memberi pesan serius bagi pemerintah, aparat keamanan, dan warga masyarakat terkait terorisme. Pertama, aksi teror bom bunuh diri dan sejenisnya masih menjadi ancaman bagi bangsa dan negara, di tengah gempuran kemajuan teknologi dan informasi yang kini menganga lebar.
Teror tampak seperti monster pencabut nyawa dalam film horor. Ia bersafari menembus ruang dan waktu lalu merenggut nyawa orang tak berdosa. Karena itu, sikap menghargai plurasitas dan menjunjung tinggi toleransi antarsesama warga bangsa ialah keutamaan yang merasuk bahkan bersemayam dalam rongga hati dan sanubari setiap orang.
Kedua, aksi terorisme saat ini, bukan lagi sekadar wacana gelap tetapi terang benderang di depan mata. Ia (teror) seperti maling yang menyatroni rumah tetangga tanpa permisi. Teror bom bunuh diri di Katedral adalah contohnya. Dari teror bom Makassar, tentu juga menjadi peringatan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum bersama masyarakat untuk mewaspadai potensi ancaman teror yang lebih serius lagi saat ini, dan di masa akan datang. Pemerintah dan kita semua tentu tak sudi kecolongan atas aksi teror yang berpotensi mengganggu kedamaian, yang sudah sekian lama dialami sesama umat dan warga negara.
Ketiga, berguru dari aksi teror bom bunuh diri di Makassar, tak ada pilihan lain bagi pemerintah dan semua elemen untuk bahu-membahu mengantisipasi benih-benih terorisme secara kolektif, melalui dialog produktif dan berbagai program pemberdayaan di tingkat grass root.
Motif teror
Jika ditelisik lebih jauh, aksi teror kerap terjadi, meski jarang diketahui publik dengan aneka pertimbangan. Pola penanganan baik oleh aparat keamanan semisal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri pun, sangat hati-hati.
Pekan pertama Januari 2021 lalu, misalnya, tim Densus 88 menangkap 20 terduga teroris di kompleks Villa Mutiara Biru 11, Kelurahan Bulurokeng, Kecamatan Biringkanayya, Makassar. Para terduga teroris ini berasal dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Pada akhir bulan yang sama, pihak Densus 88 meringkus lima terduga teroris di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka diduga terlibat dalam jaringan bom Polrestabes Medan dan terafiliasi dengan JAD.
Intelektual Muslim Zuhairi Misrawi dalam bukunya, Pandangan Muslim Moderat (2010) menyebut, dalam konteks sebagai state, ada beberapa hal yang mendorong munculnya aksi terorisme. Paling kurang ada dua hal. Pertama, dalam banyak pengalaman, terorisme atau kekerasan biasanya muncul dalam sebuah masyarakat yang memahami kekuasaan sebagai perebutan hidup-mati. Menjadi kekhawatiran bersama bila aksi terorisme ini tersimpan di belakangnya ambisi kekuasaan. Entah itu kekuasaan agama maupun politik sekuler.
Kedua, munculnya terorisme juga bisa dikaitkan dengan ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi. Selain itu, terorisme lahir akibat ketidakmampuan kita melahirkan alternatif pandangan yang mengakomodasi pluralitas, keadaban, dan kemanusiaan. Dalam banyak hal, kita masih menemui cara pandang keagamaan yang yang hanya terhenti pada tataran “saya” dan “aku”.
Gejala disintergrasi, dan formalisasi syariat yang berkembang belakangan, secara diam-diam ingin menampilkan egoisme dan keakuan. Padahal, sebagai bangsa yang dibangun di atas kebinekaan, kita mesti melihat keberagaman sebagai rahmat Tuhan yang mesti diakomodasi dan diperkaya menjadi perekat bersama.
Dalam bahasa Ali Usman, pengajar Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, terorisme, sesungguhnya terkait dengan apa yang diungkap Jacqus Derrida, filsuf Prancis—sebagaimana dideskripsikan Sindhunata (2007)— sebagai simpton dan krisis otoimunitas (autoimmunisierung). Dengan istilah itu, Derrida hendak menerangkan suatu proses, bagaimana masyarakat sebagai organisme menghancurkan mekanisme pertahanan dirinya sendiri. Organisme itu sesungguhnya telah mempunyai imunitas. Kinerjanya, organisme melakukan imunisasi terhadap imunitasnya. Tidakkah itu justru menghancurkan imunitas itu sendiri?
Aksi teror yang kerap terjadi merupakan persoalan besar yang tengah dihadapi pemerintah dan masyarakat, di tengah upaya bersama memerangi virus covid-19 yang masih meneror bangsa dan negara saat ini. Pintu dialog di lingkup internal agama maupun antaragama, perlu dibuka luas dan difasilitasi pemerintah. Dialog agama-agama sangat kuat pengaruhnya.
Saatnya pemerintah, juga melalui para pemimpin agama, duduk dan bicara mencari akar teror dan alternatif solusinya. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan, perlu satu suara, terorisme adalah musuh bersama. Bahwa terorisme yang muncul dan hidup bagai monster merupakan produk sosial kita. Ia hidup tanpa memiliki tanah kelahiran di mana pun di bumi Indonesia.